Rabu, 14 Maret 2012

KEMISKINAN DAN PERTANIAN ACEH

Oleh : Hendra Saputra

Tulisan opini di surat kabar ini yang berjudul “Media Sadar Publik” ditulis oleh J. Anto (27/2/2012) yang intinya menjadikan media menjadi sarana “membisingkan” telinga para pejabat publik agar kualitas layanan yang diberikan  benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, telah menggugah saya untuk menulis opini ini. Opini ini mencoba “membisingkan” atau menggugah pemerintah Aceh untuk melihat lebih jauh fenomena keterpurukan masyarakat khususnya petani yang terus bergelut dengan kondisi kemiskinan yang sangat sulit untuk mereka suarakan.
Merujuk pada laporan BPS, jumlah penduduk miskin di Aceh pada September 2011 mencapai 900.190 jiwa orang (19,48%). Secara Nasional, Provinsi Aceh menduduki peringkat ke-enam dari provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, berada dibawah Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, NTT dan NTB. Tentunya ini menjadi ironi tersendiri yang memprihatinkan mengingat Aceh yang diklaim kaya dengan beraneka sumberdaya alamnya. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar bagi kita, apa yang salah dengan pembangunan di Aceh?.
Benar, konflik yang berkepanjangan dan bencana tsunami yang terjadi beberapa tahun yang lalu memberikan andil yang besar terhadap terpuruknya perekonomian dan kesejahteraan di Aceh. Namun kondisi tersebut tidak dapat serta merta dijadikan argumen pembenaran atas kondisi kemiskinan yang terjadi saat ini. Semestinya Aceh bisa lebih eksis dengan diberikan Otonomi Khusus untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunannya untuk meningkatkan kesejahteran masyarakatnya dan bukan sekedar euforia semata untuk mementingkan satu golongan atau kelompok tertentu.
Kemiskinan di Aceh tetap identik dengan pedesaan. Hampir 81% dari jumlah penduduk miskin di Aceh tinggal di pedesaan dengan matapencaharian sebagai petani. Dengan demikian, mengentaskan kemiskinan tidak lepas dari keberhasilan pembangunan sektor  pertanian di pedesaan. Pemerintah Aceh telah menjadikan pembangunan sektor pertanian dalam arti luas sebagai prioritas utama. Telah banyak program-program pertanian yang diluncurkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani. Sistem agribisnis yang mengintegrasikan subsitem hulu-hilir, pemasaran dan penunjang yang dianggap dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing juga telah diterapkan. Hasilnya, produksi dan produktivitas pertanian meningkat khususnya komoditi padi yang meningkat tiap tahunnya.  Namun apakah keberhasilan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan petani?.
Kenyataannya jumlah penduduk miskin di desa yang sebagian besar petani tidak menurun signifikan, bahkan laporan BPS menunjukkan terjadi peningkatan pada tahun 2011 bila dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 42 ribu jiwa. Demikian pula bila dilihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. NTP di Aceh sangat fluktuatif,  bahkan subsektor Peternakan menunjukkan NTP pada Januari 2012 (99,76) dibawah 100 dengan tahun dasar 2007. Artinya kesejahteraan peternak di Aceh awal tahun 2012 tidak lebih baik dibandingkan tahun 2007.
Melihat kondisi ini, disatu sisi produksi dan produktivitas meningkat namun sisi lain kesejahteraan petani tidak meningkat atau tetap bergelut dalam kemiskinan, tentunya menimbulkan tanda tanya besar. Rasanya ada mata rantai pembangunan dalam upaya pengentasan kemiskinan di Aceh yang hilang atau “missing” khususnya pertanian. Terdapat tiga permasalahan pokok mendasar yang mengakibatkan tujuan pembangunan pertanian dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan petani belum mencapai hasil yang menggembirakan.
Pertama, program yang dijalankan lebih dominan bersifat politis dibandingkan aspek strategis dan ekonomis. Pada kenyataannya banyak terjadi program-program yang telah dirancang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Penentuan lokasi dan penerima manfaat program lebih ditentukan oleh “kedekatan spesial” kelompok-kelompok tertentu dengan birokrasi maupun legislatif. Kondisi ini tentunya sangat sulit untuk menilai efektifitas program yang dilakukan dari aspek strategis dan ekonominya. Dan tentunya mengakibatkan kecemburuan sosial antar kelompok petani dan menurunnya kepercayaan terhadap pemerintah, khususnya kelompok-kelompok petani yang tidak memiliki “kedekatan spesial” dengan pemangku kebijakan. 
Kedua, penilaian keberhasilan program pembangunan lebih ditekankan pada penyerapan anggaran. Keberadaan P2K-APBA yang menitikberatkan pada percepatan dan pengawasan kegiatan yang dilakukan SKPA dinilai telah memberikan andil yang cukup positif untuk menggenjot penyerapan anggaran. Keberhasilan capaian realisasi keuangan APBA 2011 sebesar 93,5% perlu mendapatkan apresiasi besar. Namun keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari tinggi-rendahnya penyerapan anggaran akhir tahun tetapi seberapa besar dampak pembangunan yang dilakukan terhadap pertumbuhan ekonomi di masyarakat menjadi poin yang lebih penting.
Ketiga, sinergi dan ego sektoral. Pembangunan di sektor pertanian selama ini masih belum menunjukkan adanya sinergisitas antar seluruh stakeholder. Sinergi antar bidang pembangunan sangat diperlukan demi kelancaran pelaksanaan dan tercapainya secara efektif dan efisien berbagai sasaran pembangunan. Demikian pula dengan adanya indikasi ego sektoral didalam suatu pengelolan pembangunan. Satu sektor merasa lebih superior dibandingkan sektor-sektor lain. Kondisi ini dapat terjadi dikarenakan belum transparannya pembagian tugas dan fungsi instansi-instansi pertanian, yang dapat mengakibatkan tumpang tindih kebijakan dan kekuasan. Pembangunan masing-masing sektor yang berdiri sendiri akan sulit mencapai keberhasilan. Konkritnya, program-program pertanian yang dilakukan di Aceh harus ditunjang oleh semua sektor terkait.
Sudah saatnya pemerintah Aceh lebih serius memperhatikan petani. Petani jangan lagi dijadikan objek dari pembangunan, politik dan kekuasan. Perencanaan pembangunan kedepan semestinya mengakomodasi konsep pemberdayaan dan partisipatif petani sebagai subjek dari kemiskinan itu sendiri. Semoga dimasa yang akan datang para petani Aceh lebih sejahtera.

*) Mahasiswa Program Doktor (S3) Pembangunan Pertanian UNAND-Padang


Tidak ada komentar: