Oleh : Hendra Saputra
Tulisan opini di surat
kabar ini yang berjudul “Media Sadar Publik” ditulis oleh J. Anto (27/2/2012)
yang intinya menjadikan media menjadi sarana “membisingkan” telinga para
pejabat publik agar kualitas layanan yang diberikan benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat, telah menggugah saya untuk menulis opini ini. Opini ini mencoba
“membisingkan” atau menggugah pemerintah Aceh untuk melihat lebih jauh fenomena
keterpurukan masyarakat khususnya petani yang terus bergelut dengan kondisi
kemiskinan yang sangat sulit untuk mereka suarakan.
Merujuk pada laporan BPS,
jumlah penduduk miskin di Aceh pada September 2011 mencapai 900.190 jiwa orang
(19,48%). Secara Nasional, Provinsi Aceh menduduki peringkat ke-enam dari
provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, berada
dibawah Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, NTT dan NTB. Tentunya ini menjadi
ironi tersendiri yang memprihatinkan mengingat Aceh yang diklaim kaya dengan
beraneka sumberdaya alamnya. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar bagi
kita, apa yang salah dengan pembangunan di Aceh?.
Benar, konflik yang
berkepanjangan dan bencana tsunami yang terjadi beberapa tahun yang lalu
memberikan andil yang besar terhadap terpuruknya perekonomian dan kesejahteraan
di Aceh. Namun kondisi tersebut tidak dapat serta merta dijadikan argumen
pembenaran atas kondisi kemiskinan yang terjadi saat ini. Semestinya Aceh bisa
lebih eksis dengan diberikan Otonomi Khusus untuk menentukan arah dan kebijakan
pembangunannya untuk meningkatkan kesejahteran masyarakatnya dan bukan sekedar
euforia semata untuk mementingkan satu golongan atau kelompok tertentu.
Kemiskinan di Aceh
tetap identik dengan pedesaan. Hampir 81% dari jumlah penduduk miskin di Aceh
tinggal di pedesaan dengan matapencaharian sebagai petani. Dengan demikian, mengentaskan
kemiskinan tidak lepas dari keberhasilan pembangunan sektor pertanian di pedesaan. Pemerintah Aceh telah
menjadikan pembangunan sektor pertanian dalam arti luas sebagai prioritas
utama. Telah banyak program-program pertanian yang diluncurkan untuk
meningkatkan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani. Sistem
agribisnis yang mengintegrasikan subsitem hulu-hilir, pemasaran dan penunjang yang
dianggap dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing juga telah diterapkan.
Hasilnya, produksi dan produktivitas pertanian meningkat khususnya komoditi
padi yang meningkat tiap tahunnya. Namun
apakah keberhasilan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan petani?.
Kenyataannya jumlah
penduduk miskin di desa yang sebagian besar petani tidak menurun signifikan,
bahkan laporan BPS menunjukkan terjadi peningkatan pada tahun 2011 bila
dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 42 ribu jiwa. Demikian pula bila dilihat
dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator untuk
mengukur tingkat kesejahteraan petani. NTP di Aceh sangat fluktuatif, bahkan subsektor Peternakan menunjukkan NTP
pada Januari 2012 (99,76) dibawah 100 dengan tahun dasar 2007. Artinya kesejahteraan
peternak di Aceh awal tahun 2012 tidak lebih baik dibandingkan tahun 2007.
Melihat kondisi ini,
disatu sisi produksi dan produktivitas meningkat namun sisi lain kesejahteraan
petani tidak meningkat atau tetap bergelut dalam kemiskinan, tentunya
menimbulkan tanda tanya besar. Rasanya ada mata rantai pembangunan dalam upaya
pengentasan kemiskinan di Aceh yang hilang atau “missing” khususnya pertanian. Terdapat tiga permasalahan pokok
mendasar yang mengakibatkan tujuan pembangunan pertanian dalam upaya
pengentasan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan petani belum mencapai
hasil yang menggembirakan.
Pertama,
program
yang dijalankan lebih dominan bersifat politis dibandingkan aspek strategis dan
ekonomis. Pada kenyataannya banyak terjadi program-program yang telah dirancang
hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Penentuan lokasi dan penerima manfaat
program lebih ditentukan oleh “kedekatan
spesial” kelompok-kelompok tertentu dengan birokrasi maupun legislatif. Kondisi
ini tentunya sangat sulit untuk menilai efektifitas program yang dilakukan dari
aspek strategis dan ekonominya. Dan tentunya mengakibatkan kecemburuan sosial
antar kelompok petani dan menurunnya kepercayaan terhadap pemerintah, khususnya
kelompok-kelompok petani yang tidak memiliki “kedekatan spesial” dengan pemangku kebijakan.
Kedua,
penilaian
keberhasilan program pembangunan lebih ditekankan pada penyerapan anggaran.
Keberadaan P2K-APBA yang menitikberatkan pada percepatan dan pengawasan
kegiatan yang dilakukan SKPA dinilai telah memberikan andil yang cukup positif
untuk menggenjot penyerapan anggaran. Keberhasilan capaian realisasi keuangan
APBA 2011 sebesar 93,5% perlu mendapatkan apresiasi besar. Namun keberhasilan
pembangunan tidak hanya dinilai dari tinggi-rendahnya penyerapan anggaran akhir
tahun tetapi seberapa besar dampak pembangunan yang dilakukan terhadap
pertumbuhan ekonomi di masyarakat menjadi poin yang lebih penting.
Ketiga,
sinergi
dan ego sektoral. Pembangunan di sektor pertanian selama ini masih belum
menunjukkan adanya sinergisitas antar seluruh stakeholder. Sinergi antar bidang pembangunan sangat diperlukan
demi kelancaran pelaksanaan dan tercapainya secara efektif dan efisien berbagai
sasaran pembangunan. Demikian pula dengan adanya indikasi ego sektoral didalam
suatu pengelolan pembangunan. Satu sektor merasa lebih superior dibandingkan
sektor-sektor lain. Kondisi ini dapat terjadi dikarenakan belum transparannya
pembagian tugas dan fungsi instansi-instansi pertanian, yang dapat
mengakibatkan tumpang tindih kebijakan dan kekuasan. Pembangunan masing-masing
sektor yang berdiri sendiri akan sulit mencapai keberhasilan. Konkritnya,
program-program pertanian yang dilakukan di Aceh harus ditunjang oleh semua
sektor terkait.
Sudah saatnya
pemerintah Aceh lebih serius memperhatikan petani. Petani jangan lagi dijadikan
objek dari pembangunan, politik dan kekuasan. Perencanaan pembangunan kedepan
semestinya mengakomodasi konsep pemberdayaan dan partisipatif petani sebagai
subjek dari kemiskinan itu sendiri. Semoga dimasa yang akan datang para petani
Aceh lebih sejahtera.
sumber : Serambi Indonesia (http://aceh.tribunnews.com/2012/03/12/kemiskinan-dan-pertanian-aceh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar